Dua orang anak yang mengikuti orangtua mereka yang jadi pemulung untuk mengumpulkan barang-barang bekas di wilayah Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2012). Mereka kerap disebut manusia gerobak.
Jakarta, Status bukanlah inti kehidupan manusia. Kerja keras dan penghargaan diri atas apa yang dihasilkan, itulah yang memberikan makna pada hidup tiap orang. Demikian kira-kira pesan yang ingin disampaikan Wulan Nuraini (28), ibu tiga anak asal Bogor, Jawa Barat.
Dia bukan siapa-siapa dalam pandangan kebanyakan warga Jakarta. Dia adalah seorang ibu yang kerap terlihat berada di samping gerobak barang bekas di seputaran wilayah Tebet Timur. Sambil menemani suaminya mengumpulkan barang bekas, Wulan memulung di tumpukan sampah.
Wulan tidak berkesempatan merawat diri dan penampilan sebagaimana kebanyakan kaum perempuan. Dia terlalu sibuk mengais-ngais tumpukan sampah dan mengumpulkan barang bekas. Terlebih lagi, pekerjaan itu dilakukan sambil menggendong anak bungsunya dan menuntun dua anak lainnya. Hasil mengais barang buangan yang terbilang kecil membuat harga perawatan diri jauh dari jangkauannya.
Memang, bukan itu yang dikehendaki wanita yang tersingkirkan dari keluarganya itu. Keinginan utamanya tidak muluk-muluk: bisa berkeluarga dan hidup mandiri, tidak tergantung pada keluarga dan belas kasihan orang lain.
"Alhamdullilah, sekarang sudah bisa mandiri. Walaupun hidup dari mulung sampah, hasilnya cukup kok buat keluarga saya," tutur Wulan yang bersama suami dan ketiga anaknya ditemui Kompas.com di Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (24/7/2012).
Dia layak bersyukur. Berasal dari keluarga yang hidupnya pas-pasan, Wulan akhirnya menikah dengan seorang pria pengangguran, suami pertamanya. Pilihan hatinya itu membuat ia terusir dari rumah keluarganya. Ia dan suaminya dianggap sebagai benalu yang membebani hidup keluarga yang sudah pas-pasan. Bersama suami, ia menetap di sekitar Stasiun Manggarai untuk mencari peruntungan hidup dengan bekerja serabutan. Malangnya, tak lama kemudian suaminya menghilang.
"Nggak jelas ke mana. Sampai sekarang dia nggak balik-balik lagi," kata Wulan.
Daripada terlunta-lunta seorang diri di Ibu Kota lantaran tidak diterima keluarganya, Wulan memutuskan untuk bekerja sebagai pemulung. Selama dua tahun dia berkeliling seputar wilayah Manggarai, Cikini, dan Tebet, dan hidup dari memulung sampah. "Tidurnya di taman depan Stasiun Manggarai, di belakang pos polisi," ujar Wulan.
Bulan Mei enam tahun lalu, ia melakukan rutinitas yang sama. Saat sampai di wilayah Tebet, hujan turun dengan derasnya dari sore hingga malam hari. Wulan pun menepi ke sebuah halte di Jalan Sahardjo. Lantaran hujan tak kunjung mereda hingga malam, ia pun tertidur kedinginan di fasilitas umum itu.
Saat itulah Hasan (79) melintas dengan gerobak barang bekasnya. Melihat perempuan yang terbaring di tempat terbuka dalam keadaan basah, Hasan jatuh iba. "Daripada kamu tidur kedinginan di sini, mendingan kamu tidur saja di kontrakan saya," kata Hasan.
Wulan setuju. Keduanya pun pergi ke kontrakan Hasan di bilangan Tebet Timur. "Sejak itu kami (hidup) sama-sama sampai sekarang. Enam tahun, tiga anak," kata Hasan sambil tersenyum sipu.
Hasan, yang sebelumnya berstatus duda tiga anak, akhirnya bisa memperoleh istri dan anak-anak lagi. Wulan mengaku tak malu harus hidup bersama pria yang lebih pantas menjadi kakeknya. Dengan pendapatan rata-rata Rp 50.000 per hari dari hasil kerja keduanya selama enam tahun, Hasan dan Wulan telah berhasil membeli sebuah rumah sederhana di kampung halaman Hasan di Subang, Jawa Barat.
"Kondisinya rusak parah dan kecil. Tapi alhamdulillah sudah punya pondok buat anak-anak," kata Wulan.
Tujuh bulan terakhir, Wulan dan suaminya giat mengumpulkan sisa-sisa bangunan. Bahan-bahan itu disiapkan untuk memperbaiki rumah mereka. "Sudah cukup banyak bahan untuk perbaiki rumah, kira-kira dua truk. Sekarang lagi kumpulin duit buat nyewa truk untuk ngangkut barang-barang ke kampung," ujar Hasan.
Wulan menambahkan, dengan kondisi Hasan yang terbilang uzur, keduanya lebih serius menyiapkan masa depan untuk anak-anak, Sania (5), Abdul Rahmat (3), dan Rapid Anwar (10 bulan). Karena itu, bila Hasan tak mampu bekerja karena kondisi fisik, Wulan akan tetap turun ke jalan dari pagi hingga malam sambil menggendong bayinya, Rapid.
"Enggak apa-apa, kok. Sania tahun depan akan masuk sekolah. Makanya harus lebih rajin mulung. Alhamdullilah hasilnya sampai saat ini masih cukup," kata Wulan.
sumber
Jangan lupa di like dan Follow Twitter | @osserem
0 komentar:
Post a Comment
Anda sopan saya segan..Titip Alamat blog anda disini pasti akan saya kunjungi balik